Pramoedya Ananta Toer on knowledge / tentang ilmu pengetahuan

Ilmu Pengetahuan: tiada terhingga indahnya.

Dalam hidupku, baru seumur jagung, sudah dapat kurasai: ilmu pengetahuan telah memberikan padaku suatu restu yang tiada terhingga indahnya.

Ilmu dan pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya. Menyalahi wujudku sebagai orang Jawa atau tidak aku pun tidak tahu. Dan justru pengalaman hidup sebagai orang Jawa yang berilmupengetahuan Eropa yang mendorong aku suka mencatat-catat. Suatu kali akan berguna…

– Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia

Knowledge: beauty without end

In my life, as young as an ear of corn, I could already feel it: knowledge had given to me a blessing whose beauty was without end.

Knowledge and science, which I learned at school and whose evidence I witnessed myself in life, had made me a little different from my people. Whether I betrayed my Javanese form or not, even I don’t know. And it was precisely my life experience as a Javanese with the knowledge and science of Europe that drove me to write notes. One day, they’ll be useful…

– Pramoedya Ananta Toer, The Earth of Mankind

Advertisement

The Great Escape / Tanah Menjadi Marmer – tiga rahasia menjadi kaya

Lihat ke bawah untuk membaca versi Bahasa Indonesia

Starting Small

Pak Andi grew up in a Jakarta slum, in a house with a dirt floor and walls of woven bamboo. His mum made their living sewing garments in a small factory, and he barely knew his dad.

“I’d peek through the gaps in the walls and watch our neighbours making love,” – Pak Andi throws his head back and laughs at the memory – “If they saw me they’d throw things and hit the walls and yell ‘Go to hell, China!'”

Pak Andi and his friends were born poor, and most of them still are. He tells stories of the guys who became gangsters and drug-dealers. The friends who went to prison. The friends who are dead.

Pak Andi is the one that got away. He built a business from nothing, selling cigarettes and other essentials on Indonesia’s outer islands, and now he owns a shopping mall in Jakarta, lives in a marbled mansion in an exclusive gated community.

Three Steps to the Epiphany

How did he do it? As he tells it, it was simple, really: he watched TV.

“My success all came from the films I used to watch as a kid. I’d watch American movies and see how rich people lived. They’d come home to beautiful houses with servants who opened the door for them and bought them drinks,  and I thought, ‘I’d like someone to open the door for me when I come home.’ So I decided I wanted to get rich, and I was ready to work hard to do it.

“I used to watch old Japanese war films and I learned from the fighting spirit of the Japanese soldiers – they achieve their mission, or they die trying. Failure is not an option for them. So I took this attitude in life and in business. If you want something, you’ve got to make it happen – no excuses, you have to succeed. Tidak boleh tidak – not allowed to not.

“And I loved MacGuyver! He taught me creativity – whatever problem he was facing, he found a way around it – McGuyver could get out of anywhere by building something from paperclips and bits of old rubbish.”

Like building a mansion from dirt and bamboo.

 

Thanks for reading – if you enjoyed the post please it or share with a friend – social links at bottom of the post.

Tanah menjadi marmer

Pak Andi besar di permukiman kumuh di DKI Jakarta. Rumah keluarganya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu. Ibunya bekerja di konveksi, dan ayahnya tidak ada dari waktu Pak Andi kecil.

“Kami miskin benar saat itu. Pada malam hari saya mengintip tetangga saya bersetubuh melalui celah-celah anyaman rumah,” tutur Andi, sambil tertawa berbahak-bahak. “Kalau terlihat, marahlah mereka – saya dilempari barang dan diteriaki ‘Hai Cina! Enyahlah!'”

Pak Andi dan temannya sekampung terlahir dalam kemiskinan, dan kebanyakan dari mereka tetap miskin. Dia bercerita tentang temannya yang menjadi preman dan pedagang narkoba. Teman yang dipenjarakan. Teman yang mati.

Pak Andi satu-satunya yang lepas dari latar belakangnya. Sedikit demi sedikit dia membangun bisnisnya, mulai dengan jual-beli barang di Jakarta, dan setelah itu dia menjual rokok dan barang elektronik di pulau-pulau lain, sehingga menjadi kaya. Sekarang Pak Andi memiliki sebuah mall di Jakarta, dan rumah berlantai tanah itu ditukar dengan sebuah istana berlantai marmer di perumahan elit.

Tiga rahasia menjadi kaya

Apa sih, rahasianya menjadi kaya? Menurut Pak Andi, rahasia menjadi kaya adalah… menonton TV.

“Cikal bakal kesuksesan saya dari film yang saya tonton pada masa kecilku. Saya doyan nonton film Amerika yang tokohnya orang kaya. Saya kagum dengan gaya hidup mereka – pulang malam ke rumah yang mewah-mewah, dilayani pembantu yang menyiapkan minuman bagi bossnya. Dan saya pikir, ‘Betapa indahnya kalau nanti saya punya pembantu yang membuka pintu rumah bagi saya ketika saya pulang kerja.’ Jadi saya putuskan – saya akan menjadi kaya, dan saya siap berjuang untuk menjadi orang sukses.

“Saya juga suka nonton film Jepang yang lama, film perang. Saya belajar dari jiwa prajurit tentara jepang, yang tidak pernah mengalah. Bagi tentara Jepang, hanya ada dua pilihan: sukses, atau mati. Tidak boleh gagal. Saya ambil sikap ini dalam kehidupan saya, dan khususnya dalam bisnis. Kalau kita ingin sukses, kita harus berjuang mati-matian. Jangan kasih alasan kenapa kamu gagal. Harus sukses – tidak boleh tidak.

“Dan pengaruh terakhir… MacGuyverI love MacGuyver. Orangnya hebat – dari dia saya belajar kreatifitas untuk mengatasi masalah. Seburuk apapun situasi yang dia hadapi, MacGuyver bisa menanganinya dengan kreativitas dan kecerdasannya yang luar biasa. Menggunakan penjepit kertas dan sampah pun, apa saja dia bisa.”

Ibarat membangun istana dari tanah dan anyaman bambu.

Pull’s Ferry: Jakarta, Norwich / Geteknya Pak Tarik: Jakarta, Norwich

Jakarta time machine

“You know this, then” – the branch, which she drew out
From her clothes’ folds… neither spoke.
The hallowed gift amazed him,
The branch of fate – so long since he had seen it!

A sybil pays Charon, ferryman of the Styx
Virgil, Aeneid, 6.406-9

wp-1488668668489.jpg

Pak Tarik’s Ferry, West Jakarta flood canal, and Temple

Open your mouth and pay the ferryman. Two thousand rupiah – a little less than twenty U.S. cents, a trifle more than ten U.K. pence – will see you safely across.

Pak Tarik’s been working this stretch of the canal for eighteen years, using current and cable to guide his ferry. Every time I see him – and the others like him across Jakarta’s rivers and canals – I’m reminded of Pull’s Ferry, Norwich, and I wonder how much longer they’ll be around.

Pull’s Ferry is named for John Pull, who lived and worked here carrying people and goods across the river Wensum from 1796 to 1841. The last of the ferrymen retired in 1943.

Pull’s Ferry, Norwich, and Cathedral

Time Travel di Jakarta

“Inilah, kamu kenal”- sebuah ranting, yang dia keluarkan
dari lipatan jubahnya… keduanya diam.
Persembahan suci itu membuat dia takjub,
Rantai Pohon Nasib – betapa lama sejak dia melihatnya!

Seorang sybil membayar Charon, tukang getek di sungai Styx
Virgil, Aeneid, 6.406-9

pulls-ferry-late-1800s

Pull’s Ferry, Norwich, c.1890

Bukalah mulutmu; membayar sang tukang getik. Dua ribu perak buat menyeberang.

Pak Tarik telah bekerja di sini selama delapan belas tahun, memakai arus air dan kabel baja untuk mengemudikan geteknya. Setiap kali saya melihatnya – dan tukang getek lain di sungai dan kanal Jakarta – saya teringat akan Pull’s Ferry, di kota Norwich, Inggris. Dan saya bertanya dalam hati – berapa lama lagi akan ada tukang getek seperti ini di Jakarta?

Pull’s Ferry dinamai untuk John Pull, yang mengangkut barang dan orang menyeberangi sungai Wensum selama empat puluh lima tahun dari tahun 1796 sampai tahun 1841, tukang getek atau ferryman yang paling lama karirnya. Dia bukan yang terakhir – Ferryman terakhir di Norwich pensiun pada tahun 1943 – baru sekejap mata yang lalu.

wp-1488668783857.jpg

Job done

Pramoedya Ananta Toer on Jakarta streets, 1951 / tentang jalanan Jakarta, 1951

Banyakkah perubahan sejak tahun 1951?

wp-1488267465674.jpg

 

Panas waktu itu. Dan mobil yang berpuluh ribu banyaknya itu menyemburkan debu pada badan yang berkeringat. Dan debu yang merupakan berbagai macam campuran: reak kering, tahi kuda, hancuran ban mobil, hancuran ban sepeda dan becak dan barangkali juga hancuran ban sepedaku sendiri yang kemarin meluncuri jalan-jalan yang kulalui kini. Dan debu yang berpancaragam itu melengket bersama keringat seperti lem pada badan. Ini membuat aku memaki sedikit – sedikit saja – dalam hati.

Ya, sekiranya aku punya mobil – sekiranya, kataku – semua ini mungkin takkan terjadi. Di kala itu juga aku berpendapat; bahwa orang yang punya itu banyak menimbulkan kesusahan pada yang tak punya. Dan mereka tak merasai ini.

Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam

How much has changed since 1951?

wp-1488267142808.jpg

It was hot then. And cars in their tens of thousands sprayed dust onto sweating bodies. And the dust was a mixture: dried spit, horse shit, tiny crumbs of car tyre, pieces of bike and bejak tyres and maybe even the powdered tyres of my own bike, which only yesterday sped along the very streets I passed through now. And this mixed dust stuck to my sweat and covered my body like glue. This made me curse a little – just a little – in my heart.

Yes, if only I had a car – if only, I said – all this might never have happened. At that time too, I thought: people who have cars cause many problems for those who don’t. And they don’t feel it.

Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, It’s Not an All Night Fair

wp-1488266317858.jpg

A tale of two farmers / Kisah dua orang petani

Take… the instance of two farmers engaged in cultivating farms as like as possible. The one had never done asserting that agriculture has been his ruin, and is in the depth of despair; the other has all he needs in abundance and of the best, and how acquired?—by this same agriculture.

Socrates in Xenophon, The Economist, Book 1.3 (US/UK)

On inequality

What makes the difference between those who start and stay poor, and those who prosper? I suppose people asked this question before Socrates, and I ask myself the same thing on the streets of Jakarta all the time.

I know a guy who’s been working the same real estate – a strip of land by a railway line – for 25 years. He’s ‘bought’ this land, developed houses, sold them, rinsed and repeated – and stayed exactly where he was when he started out, earning most of his living singing in the doorways of city buses with his wife and kids, bringing in a few dollars day.

railside-property

Railside real estate

A few weeks ago I met another man about the same age, raised by a single mother in a rough area of Jakarta, with a dirt floor and walls of bamboo-weave anyaman. He started small, got into property and now owns a shopping mall, lives in a baroque palace in a gated community. I’m not sure he’s happier, but one thing is beyond doubt: in material terms at least, you’ve come a long way, baby.

gated-community

A still from a hastily grabbed video of life in another Jakarta

Some go up, while others just about get along. I don’t know if it’s fair, but the city is woven from lives like these.

Tentang ketidaksetaraan

Sebagai contoh, ambil… dua orang petani yang sedang bercocok tanam, yang dua-duanya mempunyai ladang yang hampir sama, sama luasnya, sama subur. Petani yang satu tidak berhenti mengeluhkan susahnya bercocok tanah di ladang itu, penyebab kemiskinannya, dan sudah putus asa; petani yang kedua bisa menemuhi segala kebutuhannya, hidup makmur sentosa, penuh dengan yang terbaik. Dan dari manakah dia mendapat itu semua? Dari usaha pertanian yang sama persis.

Socrates dalam Xenophon, The Economist, Buku 1.3 (US/UK)

Apa sebabnya ada orang yang miskin dari lahir sampai mati, dan ada juga yang lahir dalam kemiskinan tetapi menjadi kaya? Saya yakin hal ini sudah dipertimbangkan orang sebelum Socrates, dan saya bergumul dengan pertanyaan yang sama hampir setiap hari di pinggir jalan ibu kota Jakarta.

Saya mengenal seorang bapak yang telah main properti selama 25 tahun – yaitu, properti yang dimilki PTKA di pinggiran rel kereta api. Sudah berkali-kali dia ‘membeli’ properti tersebut dari pihak berwenang, membangun rumah kecil, menjualnya demi keuntungan. Tetapi bapak ini – yang sudah jelas orang berakal – masih tinggal di tempat yang sama di pinggir rel, mengamen dengan anak-isteri untuk mencari nafkah, menghasilkan beberapa puluh ribu rupiah per hari saja.

wp-1487844328566.jpg

Beberapa minggu yang lalu saya sempat ketemu dengan seorang bapak lain, yang sama usianya dengan bapak pertama itu. Dia lahir di tempat kumuh di Jakarta, rumah berlantai tanah, berdinding anyaman bambu. Bapaknya kabur saat dia masih bayi. Mulai dari kecil, dia berbisnis dan juga masuk dunia properti, sehingga sekarang dia memiliki mal besar di Jakarta dan tinggal di sebuah istana di perumahan ekslusif. Saya tidak tahu apakah hatinya lebih senang daripada bapak yang satu di atas, tapi ada hal yang tak boleh diragukan – kalau memandang harta kekayaan, you’ve come along way baby.

Ada yang naik daun, ada yang terjebak pada musim gugur. Dikatakan adil, dikatakan tidak, inilah tenunan hidup di ibu kota.

Pramoedya Ananta Toer on stories / tentang cerita

wp-1486301796485.jpg

Tentang cerita

Cerita, …, selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat difahami daripada sang manusia… jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengeranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.

– Pramoedya Ananta Toer, dari kata pengantar dari Bumi Manusia, edisi Lentera Dipantara, 2005.

On Stories

“Stories, …, are always about mankind, our lives, not our deaths. Yes, even when they are about animals, monsters, or gods or ghosts. And there’s nothing more difficult to understand than great mankind… No, don’t underestimate little mankind, however simple they may look; be your eyes as sharp as eagles’, your thoughts as sharp as a razorblade, your touch more delicate than the gods’, your ears attuned to the music and the lamentations of life; your knowledge of mankind can never, ever be complete.”

– Pramoedya Ananta Toer, from the introduction to Bumi Manusia (This Earth of Mankind),
Lentera Dipantara edition, 2005.