Take… the instance of two farmers engaged in cultivating farms as like as possible. The one had never done asserting that agriculture has been his ruin, and is in the depth of despair; the other has all he needs in abundance and of the best, and how acquired?—by this same agriculture.
Socrates in Xenophon, The Economist
, Book 1.3 (US/UK)
On inequality
What makes the difference between those who start and stay poor, and those who prosper? I suppose people asked this question before Socrates, and I ask myself the same thing on the streets of Jakarta all the time.
I know a guy who’s been working the same real estate – a strip of land by a railway line – for 25 years. He’s ‘bought’ this land, developed houses, sold them, rinsed and repeated – and stayed exactly where he was when he started out, earning most of his living singing in the doorways of city buses with his wife and kids, bringing in a few dollars day.

Railside real estate
A few weeks ago I met another man about the same age, raised by a single mother in a rough area of Jakarta, with a dirt floor and walls of bamboo-weave anyaman. He started small, got into property and now owns a shopping mall, lives in a baroque palace in a gated community. I’m not sure he’s happier, but one thing is beyond doubt: in material terms at least, you’ve come a long way, baby.

A still from a hastily grabbed video of life in another Jakarta
Some go up, while others just about get along. I don’t know if it’s fair, but the city is woven from lives like these.
Tentang ketidaksetaraan
Sebagai contoh, ambil… dua orang petani yang sedang bercocok tanam, yang dua-duanya mempunyai ladang yang hampir sama, sama luasnya, sama subur. Petani yang satu tidak berhenti mengeluhkan susahnya bercocok tanah di ladang itu, penyebab kemiskinannya, dan sudah putus asa; petani yang kedua bisa menemuhi segala kebutuhannya, hidup makmur sentosa, penuh dengan yang terbaik. Dan dari manakah dia mendapat itu semua? Dari usaha pertanian yang sama persis.
Socrates dalam Xenophon, The Economist
, Buku 1.3 (US/UK)
Apa sebabnya ada orang yang miskin dari lahir sampai mati, dan ada juga yang lahir dalam kemiskinan tetapi menjadi kaya? Saya yakin hal ini sudah dipertimbangkan orang sebelum Socrates, dan saya bergumul dengan pertanyaan yang sama hampir setiap hari di pinggir jalan ibu kota Jakarta.
Saya mengenal seorang bapak yang telah main properti selama 25 tahun – yaitu, properti yang dimilki PTKA di pinggiran rel kereta api. Sudah berkali-kali dia ‘membeli’ properti tersebut dari pihak berwenang, membangun rumah kecil, menjualnya demi keuntungan. Tetapi bapak ini – yang sudah jelas orang berakal – masih tinggal di tempat yang sama di pinggir rel, mengamen dengan anak-isteri untuk mencari nafkah, menghasilkan beberapa puluh ribu rupiah per hari saja.
Beberapa minggu yang lalu saya sempat ketemu dengan seorang bapak lain, yang sama usianya dengan bapak pertama itu. Dia lahir di tempat kumuh di Jakarta, rumah berlantai tanah, berdinding anyaman bambu. Bapaknya kabur saat dia masih bayi. Mulai dari kecil, dia berbisnis dan juga masuk dunia properti, sehingga sekarang dia memiliki mal besar di Jakarta dan tinggal di sebuah istana di perumahan ekslusif. Saya tidak tahu apakah hatinya lebih senang daripada bapak yang satu di atas, tapi ada hal yang tak boleh diragukan – kalau memandang harta kekayaan, you’ve come along way baby.
Ada yang naik daun, ada yang terjebak pada musim gugur. Dikatakan adil, dikatakan tidak, inilah tenunan hidup di ibu kota.